Senin, 26 Desember 2011

Potensi Pasar, Indonesia Calon Kiblat Ekonomi Syariah

Muhammad Syakir Sula

INDUSTRI syariah Indonesia diperkirakan akan berkembang secara pesat. Bahkan pakar ekonomi menyatakan dalam 15 tahun kedepan ekonomi syariah terbesar adalah Indonesia. Mengingat potensi pasar yang sangat besar, ditambah lagi jika sektor riil dapat berjalan lebih baik. Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah, Muhammad Syakir Sula menjelaskan, jika dilihat dari sisi market share ekonomi syariah baru sekitar dua persen baik di perbankan, asuransi maupun pasar modal.
"Namun pertumbuhan ekonomi syariah pada 2008 sudah mencapai 40 persen. Apalagi sudah menggelar Festival Ekonomi Syariah kedua di Jakarta, mudah-mudahan ini bisa mendongkrak pertumbuhan industri syariah lebih tinggi lagi," katanya kepada beritabaru.com.
Apabila dikaitkan dengan kondisi krisis keuangan sekarang ini, peluang ekonomi syariah nasional memang menjadi sangat bagus. Ia menggambarkan dengan jumlah umat muslim sebanyak 88 persen dari populasi penduduk di Indonesia. Ini menjadi pasar paling potensial bagi ekonomi syariah terus berkembang, baik diperbankan, asuransi ataupun produk pasar modal.
Karena itu, Syakir Sula berharap kepada umat muslim yang memiliki bisnis, sebaiknya menggunakan instrumen syariah karena relatif lebih aman ketimbang sistem konvensional. Sebab, sistem syariah memfokuskan diri kepada sektor riil terutama perbankan syariah yang sejalan dengan rencana pemerintah dalam penguatan pasar domestik.
"Ini yang membedakan perbankan syariah dengan bank konvensional. Terlebih kondisi krisis sekarang ini, dimana transaksi derivatif di pasar modal mengalami krisis orang justru banyak pindah ke syariah, karena bisnis syariah lebih banyak disalurkan ke sektor riil," jelas dia.

Namun menggeser perilaku konsumen ke sistem syariah bukanlah hal mudah. Syakir mengakui masih banyak kendala yang harus diatasi, terutama mengkomunikasikan ke masyarakat sampai pada tingkat bawah. Misalnya asuransi syariah, sebut dia, kota-kota kecil di Indonesia belum banyak yang menawarkan produk syariah apalagi instrumen pasar modal syariah, tapi kalau perbankan syariah sudah hampir merata ke semua daerah.

Menurutnya, produk syariah itu tidak ada transaksi derivatif karena memang tidak boleh dilakukan. Transaksi ini hanya ada di sistem konvensional. Karena itu, dia mengajak agar konsumen yang ingin merasa aman sebenarnya harus memakai intrumen syariah.
Sementara Ekonom Syariah dari Karim Bussines consulting, Adiwarman A.Karim menjelaskan selama ini financing to deposit ratio (FDR) perbankan syariah ke sektor riil selalu tinggi atau hampir mencapai 100 persen.

Artinya, semua dana-dana yang dihimpun dari pihak ketiga hampir semuanya tersalurkan dan yang paling banyak mendapatkan kucuran kredit adalah sektor riil.

Hal itu menunjukkan peran intermediasi perbankan syariah yang berjalan cukup baik sehingga berdampak positif terhadap kontribusinya kepada sektor riil yang juga bagus.

"Meskipun keberadaan bank syariah di Indonesia baru mencapai lima unit usaha. Pada 2009 diharapkan akan hadir lagi sebanyak 8-9 unit usaha syariah, salah satunya RBS yang dulunya ABN Amro," jelasnya kepada beritabaru.com

Masalah Pajak dan Suku Bunga

Adiwarman memaparkan bahwa industri syariah di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan yang bisa menekan pertumbuhan lebih cepat. Seperti faktor perpajakan dan suku bunga acuan.

UU Perpajakan yang mendukung perbankan syariah belum juga terwujud sehingga bank-bank syariah belum 'all out' dalam melakukan ekspansi kredit karena takut timbul masalah pajak dikemudian hari.

Gambarannya adalah perusahaan beli mobil seharga Rp100 juta lalu dijual ke nasabah seharga Rp120 juta. Dalam transaksi itu sesuai ilmu perpajakan akan terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPn), yakni PPn membeli dan PPn menjual. Tetapi bank syariah tidak seperti itu karena dia membiayai proses jual beli tersebut. "Nah, mudah-mudahan UU Perpajakan bisa cepat terselesaikan," katanya.

Faktor suku bunga acuan atau BI rate juga menjadi faktor penghambat pertumbuhan industri syariah nasional. Apabila BI rate rendah, maka bagi hasil akan menjadi lebih menarik dibandingkan suku bunga di bank konvensional. "Hal ini tentunya akan mendorong pertumbuhan bank syariah lebih cepat lagi," ujar Adiwarman.

Mengenai transparansi sistem syariah, ujar Adiwarman, semua pengelolaan dana syariah telah sesuai dengan peraturan Bank Indonesia (BI) tentang perbankan syariah, yaitu uang yang diterima atau dikelola oleh perbankan syariah harus digunakan untuk syariah saja.

Meskipun ada, lanjut dia, seperti bank BNI atau BRI yang mempunyai unit usaha syariah, pembukuannya itu dipisahkan dari bank konvensionalnya. "Insya Allah pengelolaan dana syariah dapat dipertanggung jawabkan. Kami juga berharap BI rate bisa menurun dibawah 8 persen, angka itu lebih oke untuk bisnis syariah di Indonesia," katanya.

Syakir Sula memaparkan bahwa faktor penghambat sistem syariah di Indonesia adalah sebagian besar umat muslim belum paham kalau sebagai umat muslim sebetulnya wajib menggunakan produk syariah.
"Ini yang belum banyak diketahui oleh mereka. Apalagi sekarang ada instrumen syariah yang baru dan aman 100 persen karena dijamin pemerintah, yaitu sukuk ritel," katanya.

Kalau saja Presiden mengumumkan, harap Syakir, bahwa haram hukumnya bagi umat muslim yang menggunakan instrumen konvensional, maka semua masyarakat akan paham. Selama ini, ulama-ulama dari MUI melakukan sosialisasi ekonomi syariah secara tidak langsung, misalnya lewat khotbah jumatan, seminar-seminar atau ceramah-ceramah.

Ia mengakui kalau Indonesia menganut dual sistem ekonomi, yaitu sistem konvensional dan syariah. Dilihat dari aspek undang-undang sudah jelas ada karena pemerintah mendukung dengan menerbitkan UU SBSN dan UU Perbankan syariah. Sedangkan untuk koperasi, ada PP tentang Perkoperasian Syariah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar