Rabu, 13 Juli 2011

SAVING DULU BARU SHOPPING

Dalam mengatur prioritas pengeluaran, ada satu prinsip yang selalu saya
tekankan, yaitu “saving dulu baru shopping”. Atau pos pengeluaran untuk
menabung/investasi (saving) seharusnya didahulukan sebelum pos pengeluaran
untuk biaya hidup (shopping).


Ketika saya sampaikan prinsip ini, banyak orang yang memberikan komentar
yang pesimis. “Wah, gak mungkin itu kita lakukan. Selama ini aja berasa
kurang, bagaimana mau saving duluan. Nanti malah gak ada buat shopping”.
Tentunya ini adalah alasan klasik dan memang tidak mudah untuk mengubah
paradigma dalam mengelola keuangan yaitu mendahulukan saving dulu daripada
shopping. “Ah, itu kan cuma bisa dilakukan oleh orang yang penghasilannya
besar sekali. Penghasilan saya kan pas-pasan”. Lagi-lagi alasan itu yang
keluar sekalipun saya tekankan betapa pentingnya melakukan
investasi/menabung sebelum digunakan untuk belanja.

Kalau Anda masih menganggap bahwa konsep saving dulu baru shopping hanya
akan bisa dilakukan oleh seseorang yang berpenghasilan besar, mari kita
simak testimoni dari seorang istri kuli angkut di pelabuhan tanjung priok.
Dari sisi penghasilan jelas tidak seberapa, jauh dibandingkan penghasilan
Anda sebagai karyawan.

Pada saat saya menyampaikan konsep ini di hadapan sekitar seratusan orang
peserta yang mayoritas adalah kalangan kurang mampu yang mengandalkan
penghidupannya dari kawasan pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya, memang
sebagian diantara mereka pesimis bisa menjalankan konsep ini dengan baik.
Karyawan berpenghasilan tetap di atas UMR saja masih banyak yang pesimis,
apalagi mereka yang penghasilannya tidak pasti dan di bawah UMR, wajar
sajalah untuk pesimis.

Tapi diantara yang pesimis, ada sebagian orang untuk memilih tetap
bersikap optimis. Setidaknya tidak sebelum mencoba konsep tersebut dalam
rumah tangga mereka. Sebutlah ibu Neni yang memilih untuk mencoba lebih
dahulu sebelum mengatakan TIDAK.

Jika biasanya ibu Neni selalu menyediakan segelas kopi dan sebungkus rokok
setelah sarapan untuk bekal suaminya bekerja seharian, hari itu ibu Neni
menyediakan segelas kopi dan hanya menyediakan 2 batang rokok saja di
samping gelas kopi.

“Kok cuman 2 batang doang? Emangnya duit yang gue kasih semalem kurang?”
tanya sang suami.

“Mulai hari ini, gue mau nabung bang. Duitnya gue tabung dulu, sisanya ya
itu buat rokok cuman kebeli 2 batang. Nanti kalo kurang ya tinggal beli
lagi aja. Sekarang cobain aja dulu sehari 2 batang” begitu penjelasan ibu
Neni pada suaminya.

“Nabung…Kagak salah denger gue? Emangnya duit kite ada sisanya apa buat
ditabung?” Tanya suaminya penasaran.

Ibu Neni tak mau kalah menjawab “Justru itu bang. Kalo nunggu sisa mah
mana bisa. Mangkanye itu duit semalem gue tabung dulu, terus belanja dapur
tadi pagi, nah sisanya itu rokok cuman bisa kebeli 2 batang. Gitu kemarin
gue diajarin di pengajian.”

“Aaah… ya udeh deh. Hari ini 2 batang aja. Bagus sih lu bisa nabung, tapi
laen kali kagak usah ikut pengajian kaya gitu lagi deh.” Gumam si suami
yang setengah setuju tapi masih berasa berat menjalankannya.

Alhasil hari itu si suami berangkat kerja hanya dengan 2 batang rokok di
kantongnya. Sepulangnya ke rumah, ia tidak meminta tambahan rokok dan
ternyata 2 batang rokok memang cukup jika yang tersedia hanya 2 batang
itu. Dan keesokan ia kembali dibekali 2 batang rokok, tidak lebih. Namun
kali ini ia tidak banyak bicara, terima saja aturan baru yang dijalankan
istrinya.

Ini bukan masalah rokok yang memang bisa dikurangi, atau apapun juga. Tapi
pada dasarnya setiap pengeluaran ternyata masih bisa dihemat, apapun itu.
Sehingga tidak ada alasan lagi penghasilan pas-pasan membuat Anda sulit
menabung.

Yang perlu dilakukan adalah mencoba mengubah kebiasaan. Ubah kebiasaan
Anda untuk saving dulu baru shopping. Mungkin akan ada jatah shopping yang
terpaksa berkurang. Tapi sejalan dengan waktu, hal itu akan menjadi
kebiasaan baru dan tidak akan berasa lagi kurang.

Dari Ahmad Ghozali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar